

Viralterkini.id, Jakarta — Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) menyampaikan keprihatinan dan keberatan atas penetapan Direktur Pemberitaan JAK TV sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung), yang diumumkan melalui siaran pers resmi pada Senin, 22 April 2025.
Dalam siaran pers bernomor PR – 331/037/K.3/Kph.3/04/2025 tersebut, Kejaksaan Agung menetapkan pejabat redaksi dari stasiun televisi lokal itu sebagai tersangka atas dugaan menghalangi proses penyidikan dalam kasus suap senilai lebih dari Rp478 juta.
Diduga, pemberitaan yang dimuat JAK TV dianggap sebagai “berita negatif” yang menghambat proses hukum.
Menanggapi hal tersebut, IJTI menyatakan sikap resmi melalui keterangan tertulis, menegaskan dukungan terhadap upaya pemberantasan korupsi namun menyoroti langkah Kejagung yang dinilai berpotensi mengancam kemerdekaan pers.
Ketua IJTI, dalam pernyataannya, menegaskan bahwa pihaknya mendukung penuh upaya pemberantasan korupsi di segala lini, termasuk langkah Kejaksaan Agung dalam menelusuri dugaan suap yang terjadi.
Menurut IJTI, praktik korupsi merupakan tindak pidana serius yang harus ditangani secara transparan dan akuntabel.
“Kami menilai langkah Kejaksaan dalam mengungkap dugaan aliran dana suap tersebut patut diapresiasi. Namun kami juga ingin mengingatkan bahwa penegakan hukum tidak boleh bertentangan dengan prinsip kebebasan pers yang dijamin oleh undang-undang,” ujar perwakilan IJTI.
Lebih lanjut, IJTI menegaskan bahwa jika dasar penetapan tersangka terhadap insan pers adalah aktivitas pemberitaan atau konten jurnalistik, maka hal tersebut merupakan kekeliruan yang serius.
Kritik dalam pemberitaan merupakan bagian dari fungsi kontrol sosial pers yang dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
“Menuduh jurnalis merintangi penyidikan hanya karena menyampaikan informasi yang bersifat kritis adalah tindakan yang membahayakan iklim kebebasan berpendapat dan menghambat peran pers dalam demokrasi,” lanjut IJTI dalam pernyataannya.
IJTI juga mengingatkan bahwa sesuai dengan UU Pers, penilaian atas suatu karya jurnalistik—termasuk dugaan pelanggaran etika atau profesionalisme—merupakan kewenangan Dewan Pers.
Oleh karena itu, Kejaksaan Agung seharusnya terlebih dahulu berkoordinasi dengan Dewan Pers sebelum mengambil langkah hukum terhadap jurnalis atau media.
“Jika benar bahwa dasar penetapan tersangka adalah produk jurnalistik, maka Kejagung perlu melibatkan Dewan Pers. Tidak sepatutnya pemberitaan langsung dijadikan dasar proses pidana tanpa melalui mekanisme etik terlebih dahulu,” tegas IJTI.
Penetapan tersangka terhadap seorang direktur pemberitaan karena konten jurnalistik dinilai oleh IJTI sebagai preseden yang berbahaya.
Langkah seperti ini, menurut IJTI, bisa disalahgunakan oleh pihak tertentu untuk menekan media yang kritis terhadap kekuasaan.
“Pendekatan represif semacam ini bisa menciptakan iklim ketakutan di kalangan jurnalis dan media, serta menghambat kebebasan berekspresi yang merupakan pilar demokrasi,” tulis IJTI.
Di akhir pernyataan, IJTI menyerukan kepada seluruh jurnalis untuk terus menjunjung tinggi kode etik jurnalistik serta menjaga independensi dalam bekerja.
Di sisi lain, aparat penegak hukum diminta untuk tetap menghormati prinsip kemerdekaan pers dalam setiap proses penyidikan.
“IJTI tetap mendukung pengungkapan kasus dugaan suap ini sebagai bagian dari proses hukum pidana. Namun jika penetapan tersangka semata-mata karena pemberitaan yang dianggap ‘menghalangi penyidikan’, maka kami meminta Kejaksaan untuk memberikan klarifikasi secara terbuka serta melakukan koordinasi yang seharusnya dengan Dewan Pers,” tutup pernyataan tersebut.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada tanggapan resmi dari Kejaksaan Agung terkait permintaan klarifikasi dari IJTI.
Sementara itu, Dewan Pers juga belum mengeluarkan pernyataan mengenai keterlibatannya dalam kasus yang tengah bergulir ini.

Tidak ada komentar