

Tampak persidangan berlangsung dalam kasus kriminalisasi kawan Awwab Hafidz dan Marsel Bialembang dan polemik patok lahan tambang Nikel Milik PT Wahana Kencana Mineral (WKM) Oleh Pelapor yakni PT Position dengan no perkara 439/Pid.Sus/2025/PN Jakarta Pusat di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus), Rabu (15/10). Foto : ist
Viralterkini.id, JAKARTA – Sidang lanjutan yang ke-10 ini mengenai perkara penggunaan kawasan hutan antara PT Wana Kencana Mineral (WKM) dan PT Position kembali digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (15/10/2025) yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Sunoto, dengan agenda mendengarkan keterangan ahli dari Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Ahli yang dihadirkan yakni Anton Cahyo Nugroho yang merupakan pegawai Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah VI Manado justru memunculkan tanda tanya di ruang sidang. Sejumlah pernyataannya dianggap tidak konsisten dan minim dasar verifikasi lapangan, sehingga memancing perhatian hakim dan pengunjung sidang.
Dalam persidangan yang dimulai pukul 17.00 WIB itu, Hakim Sunoto menanyakan apakah Anton telah melakukan verifikasi lapangan di titik koordinat yang menjadi pokok perkara, yakni sekitar KM 11.450, serta apakah ia memahami status izin PPKH dan PBPH dari para pihak.
Anton mengaku hanya merujuk pada peta dan dokumen administratif tanpa pernah melakukan pengecekan langsung di lapangan.
Jawaban tersebut langsung dikritik oleh majelis hakim yang menilai kesimpulan ahli tanpa verifikasi lapangan tidak memiliki kekuatan pembuktian yang kuat.
Ketegangan meningkat ketika Anton mengaku tidak mengetahui Undang-Undang Minerba, padahal dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP), ia menyatakan siap memberikan keterangan ahli di bidang kehutanan dalam perkara pertambangan sebagaimana diatur dalam UU Nomor 4 Tahun 2009 juncto UU Nomor 6 Tahun 2023.
Kuasa Hukum Nilai Dakwaan JPU Mulai Melemah
Kuasa hukum PT WKM, Rolas Sitinjak, menilai keterangan ahli dari JPU justru memperlemah dakwaan.
“Kesaksian ahli yang dihadirkan hari ini semakin menunjukkan bahwa seharusnya persidangan ini tidak perlu dilanjutkan,” ujar Rolas usai sidang.
Menurutnya, Anton kerap menjawab tidak tahu saat ditanya oleh hakim, namun menjadi lebih lancar ketika pertanyaan datang dari pihak JPU. Hal ini, kata Rolas, menimbulkan kesan bahwa ahli tidak independen.
Rolas juga menyoroti pernyataan Anton yang menolak mengakui foto patok batas kawasan hutan yang ditunjukkan di persidangan sebagai tanda batas resmi.
“Ahli mengatakan itu bukan patok yang dimaksud dalam undang-undang kehutanan. Padahal, patok itu dibuat untuk mencegah aktivitas pertambangan ilegal di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) milik PT WKM,” tegasnya.
Ia menambahkan, patok tersebut dibuat dari kayu dan besi serta dilengkapi dengan koordinat resmi kawasan.
“Dalam dakwaan, disebutkan patok tidak ada tulisan atau klaim apa pun. Faktanya, patok yang kami tunjukkan jelas menandai batas wilayah IUP yang sah. Artinya, dakwaan jaksa sudah terpatahkan,” ucap Rolas.
Lebih lanjut, Rolas menegaskan bahwa PT WKM berkewajiban menjaga wilayah konsesinya agar tidak diserobot oleh pihak lain.
“Kami hanya menjalankan perintah undang-undang untuk menjaga wilayah izin tambang yang diterbitkan secara sah oleh pemerintah. Kalau terjadi pelanggaran di wilayah itu, justru PT WKM yang akan dimintai pertanggungjawaban,” katanya.
Aktivis Nilai Ada Kejanggalan dalam Keterangan Ahli
Sementara itu, Koordinator Perkumpulan Aktivis Maluku Utara, Yohannes Masudede, yang turut hadir memantau jalannya persidangan, menilai keterangan saksi ahli dari JPU penuh kejanggalan.
“Kami mengikuti langsung persidangan hari ini dan mendengar sendiri kesaksian ahli. Ada perbedaan mencolok antara keterangan di BAP dengan yang disampaikan di depan majelis hakim,” kata Yohannes.
Ia berharap majelis hakim dapat menilai secara objektif setiap kesaksian dan bukti yang dihadirkan.
“Kami datang dan mengawal sidang ini karena merasa ada sesuatu yang janggal. Hakim harus benar-benar obyektif melihat keterangan ahli dan fakta lapangan,” tegasnya.
Menurut Yohannes, perbedaan keterangan ahli di BAP dan di sidang bukan pertama kali terjadi.
“Dari sidang-sidang sebelumnya, juga ada saksi yang memberi keterangan berbeda. Ini membuat kami bertanya-tanya, ada apa sebenarnya dalam proses hukum ini?” ujarnya.
Ia menegaskan, kehadiran pihaknya sebagai aktivis merupakan panggilan nurani untuk mengawal jalannya proses hukum yang dinilai tidak transparan.
“Kami sebagai warga Maluku Utara merasa dirugikan akibat tambang-tambang ilegal yang mencemari lingkungan dan mengancam satwa endemik kami. Karena itu kami ingin perkara ini dibuka seterang-terangnya,” pungkasnya.
Sidang perkara nomor 439/Pid.Sus/2025/PN Jakarta Pusat ini disebut sebagai bagian dari dugaan kriminalisasi terhadap dua pekerja PT WKM, yakni Awwab Hafidz dan Marsel Bialembang.
Persidangan akan dilanjutkan dengan agenda pemeriksaan saksi berikutnya yang dijadwalkan pada pekan depan. (ma)

Tidak ada komentar