

Dali Tahir, Mantan EXCO AFC dan Anggota FIFA ETHICS Committee. Foto : ist Aku dan Sepakbola (Io E Calcio)
Penulis: Dali Tahir, Mantan EXCO AFC dan Anggota FIFA ETHICS Committee

Viralterkini.id – LA PRIMA volta che sono innamorata dal giocco di calcio succede nel anno 1958 a Stocholma – Svezia allo stadio Rasunda -Solna. La partita finale era Brazile contro Svezia. E la prima volta il grande Pele giocava per Brasile a 17 anni. Pele ha segnato due gol per Brasile e diventa Campione del Mondo. Sono molto furtunato al l’eta di dieci anni Papa mi ha portato di vedere l’istorica avvenimento Dal quel instante ho diventato un gran tifoso per calcio.
(Pertama kali aku jatuh cinta pada sepakbola, terjadi di tahun 1958 di Stockholm-Swedia di Stadion Rasunda-Solna, pertandingan final Piala Dunia antara Brasil lawan Swedia. Pada saat itu Pele di usia 17 tahun pertama kali tampil membela Timnas Brasil. Pele mencetak 2 dari 5 goal dan membuat Brasil juara Piala Dunia 1958. Aku sangat beruntung di usia 10 tahun alm Ayah mengajak menonton langsung pertandingan bersejarah itu. Sejak itu aku jadi pencinta sepak bola sejati.)
Edson Arantes do Nascimento atau “PELE” selalu menjadi idola ku. Sekembali dari 4 tahun di Italia (1956-1960) aku menamatkan Sekolah Dasar (SD Percobaan) yang berada di Jalan Sabang, Bandung, Jawa Barat.
Setiap sore di lapangan bola, aku bermain bola dengan kawan-kawan antara lain bung Agus Widjoyo (Letjen TNI Purn) yang kini menjabat Duta Besar Republik Indonesia untuk Filipina. Dari Bandung, aku melanjutkan sekolah di SMP Perguruan Cikini Jakarta. Kebetulan, aku satu kelas dengan Megawati Soekarnoputri (Presiden RI ke-6).
Kemudian, aku masuk SMA Vl Bulungan Jakarta. Pada kuartal terakhir, aku melanjutkannya di SMA Negeri Magelang karena harus ikut Ayah yang diangkat jadi Gubernur terakhir Akademi Militer Nasional ( AMN) dan Gubernur AKABRI pertama.
Di era ini, aku banyak mengenal calon-calon pemimpin TNI , seperti pak Hendropriono, Wiranto, Luhut Binsar Panjaitan (LBP), Agum Gumelar (ipar) dan banyak perwira TNI lainnya.
Pada tahun 1967, aku dapat kesempatan mengikuti pendidikan penerbang TNI-AU di Wing Sek Bang Adisucipto Jogja. Yang membanggakan saat itu aku sudah direlease oleh instruktur untuk terbang Solo di 6 jam awal pendidikan itu. Sensasi luar biasa bisa menerbangkan pesawat latih L4J Piper tanpa didampingi instruktur. Di akhir pelatihan, aku disematkan Wing Penerbang TNI AU kelas lll. Luar Biasa.
Dari sana, aku meneruskan ke Perguruan Tinggi Universitas Gajah Mada (UGM) dengan mengambil jurusan Ekonomi. Di akhir pendidikan UGM ini, Menteri Perdagangan RI, Soemitro Djoyohadikusumo (ayahanda Presiden Prabowo) mengirim aku untuk post graduate di Export Promotion Course di UNCTAD/GATT di Geneve – Swiss.
Selama menjalani pendidikan, aku berkesempatan mengunjungi sentra-sentra ekspor/impor di beberapa negara Eropa : Amsterdam – Roterdam Holland , Antwerp Belgium – Oslo Norwegia , Napoli Italia dan beberapa negara lainnya.
Kecintaanku pada sepakbola tidak pernah surut selama mengikuti proses pendidikan formal itu. Malah selama di negara-negara tersebut, aku selalu menyempatkan menyaksikan pertandingan kompetisinya.
Sekembali dari pendidikan formal, aku mulai terjun ke level sepak bola klub. Suatu saat, aku dapat kesempatan ngobrol santai dengan Presiden RI Suharto. Beliau bertanya : “Mengapa dengan penduduk kita yang 200 juta, sulit mendapatkan 11 orang pemain untuk Timnas Indonesia”
Jawabanku saat itu, “Maaf pak Presiden, ratio perbandingan nya bukan seperti itu. Saya selama 4 tahun tinggal di Italia yang berpenduduk 45 juta jiwa. Pemain sepakbola yang terdaftar di PSSI nya ada hampir mencapai 2 juta nama. Sedang Indonesia dengan penduduk 200 juta, pemain terdaftar di PSSI saat itu hanya sektar 200 ribu pemain. Jadi Italia memilih 11 dari 2 juta nama, sedangkan Indonesia memilih 11 dari 200 ribu nama.”
Mendengar penjelasan itu, Presiden Suharto menjawab singkat, “Kalau begitu kita harus kembangkan pelaku sepakbola di Tanah Air “. Kemudian, aku bersama putranya, Sigit Haryoyudanto dan seorang lagi sahabat Johnny Hermanto, sepakat memdirikan klub sepakbola bernama PS Arseto. Nama itu diusulkan oleh Johnny Hermanto yang mengambil dari ketiga nama putra mas Sigit : Ari- Rentno – Seto = ARSETO .
Mulailah kami merekrut pemain. Kemudian terpikir mendirikan sebuah Liga Kompetisi yang semi profesional. Dan, aku menjadi co-founder berdirinya ” GALATAMA ” Liga Sepak Bola Utama.
Geliat sepakbola langsung bangkit. Beberapa klub bergabung di Galatama antara lain: JAYAKARTA – PARDEDETEX-NIAC MITRA – WARNA AGUNG – CAHAYA KITA – UMS – BANDUNG RAYA – PELITA JAYA. Ternyata konsep Galatama yang dibuat Indonesia mendapat perhatian.
Tepatnya tahun 1980, petinggi sepakbola Jepang dari JAPAN Football Association, Junji Ogura yang kebetulan bersamaku duduk sebagai EXCO AFC diutus ke Jakarta. Dia datang menemuikuuntuk mempelajari konsep Galatama.
Kemudian, JFA menggelar Liga Jepang yang merupakan liga semi pro dengan mencontoh konsep Galatama. Diluar dugaan Liga Jepang yang didukung dunia industri Jepang sangat pesat berkembang meninggalkan Indonesia yang menjadi pencetus Galatama. Bahkan, Jepang muncul sebagai salah satu tim terkuat di Asia dan melahirkan permain berkualitas serta langganan peserta Piala Dunia.
Nama Hidetoshi Nakata jadi legenda sepakbola Asia yang lahir dari Liga Jepang sukses menembus Liga dunia yang paling digandrungi pecinta sepakbola. Nakata bermain di Liga Italia dengan memperkuat AS Roma.

Sehabis itu, aku lebih banyak berkiprah di dunia broadcast televisi untuk hosting acara sepak bola serta musik. Pada tahun 1986, aku punya acara musik di RCTI : MELODY MEMORY, menampilkan penyanyi serta artis musik lawas tahun 1960-an .
Di tahun 2003, aku mulai terpilih sebagai EXCO AFC, melalui pemilihan di AFF. Selama berkiprah selaku EXCO AFC, aku sempat bertemu dengan tokoh-tokoh sepakbola Asia. Dan, Indonesia sangat dihormati oleh anggota AFC, karena kita adalah negara Asia ke-3 terbesar, setelah China dan India. Dan Indonesia juga punya sejarah sepak bola yang disegani.
Selaku EXCO AFC, aku terpilih menjadi wakil AFC di FIFA sebagai anggota FIFA Ethics Committee. Suatu posisi yang sangat bergengsi. Selaku anggota komite ini hampir setiap 2 minggu sekali aku dapat tugas mengunjungi negara-negara anggota FIFA yang sedang dalam pantauan FIFA, khususnya pada kasus-kasus yang menyangkut pelanggaran Etika dan Disiplin.
Tidak hanya sebatas itu saja, aku juga terpilih sebagai tim penunjukan negara tuan rumah FIFA World Cup tahun 2018 di Moscow, Rusia. Dan juga sebagai anggota tim inspeksi FIFA World Cup 2022. Yang akhirnya Qatar terpilih menjadi tuan rumah.
Terus terang, aku merasakan tugas ini sangat berat karena melalui prosedur yang ketat dan diawasi. Sebelum dan sesudah inspeksi itu, semua anggota tim diklarifikasi terlebih dahulu oleh FBI (Badan Intelegence Amerika Serikat) guna memastikan tidak ada hal-hal yang melanggar etika serta aturan dalam menentukan tuan rumah piala dunia.
Di tahun 2004, aku ditunjuk PSSI jadi Ketua Tim Perundingan Statuta PSSI dengan FIFA dan AFC. Dua tahun perundingan alot itu berlangsung di Zurich, Kuala Lumpur dan Jakarta. Akhirnya di tahun 2006 Statuta PSSI disetujui oleh FIFA, sebagai pengganti Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) PSSI.
FIFA mewajibkan seluruh anggotanya mengadopsi standard Statuta FIFA, sehingga seluruh anggota FIFA memiliki aturan dasar yang sama dalam menjalankan Federasi-nya. PSSI adalah salah satu anggota AFC pertama yang mengadopsi statuta tersebut.
Sebagai penghargaan FIFA, memberikan hak sebagai tuan rumah Piala Asia 2007. Sebelum berlangsungnya Piala Asia tersebut, venue Stadion GBK dan stadion di Palembang di up grade sesuai dengan aturan FIFA.
Stadion Utama GBK dari kapasitas 100 ribu penonton menjadi kapasitas 90 ribu penonton. Dengan prinsip “One ticket One Seat” jadi seluruh bangku dan kursi stadion bernomor. Kita sukses menyelenggarakan Piala Asia 2007 dan Irak keluar sebagai juara.
Menjelang akhir dua periode, sebagai EXCO AFC dapat perintah dari petinggi sepakbola Indonesia, agar mengupayakan pada Kongres AFC berikut dicalonkan menduduki EXCO AFC dari Indonesia adalah Ketua Umum PSSI yang saat itu dijabat Nurdin Halid. Perintah tersebut ku laksanakan, namun keraguan awalku terbukti dimana Indonesia gagal mendapatkan suara di kongres tersebut.
Memang untuk terpilih jadi EXCO AFC tidak mudah. Pergaulan serta pengetahuan tentang sepakbola Asia menjadi hal wajib dan harus fasih berbahasa Inggris.
Sejak tahun 2011 itu, Indonesia sebagai negara ketiga terbesar di Asia tidak lagi terwakilkan sebagai EXCO AFC. Sangat disayangkan. Akhirnya kita menjadi negara besar yang diatur bukan yang mengatur.
Selesai tugas di AFC, aku mendapat tugas dari pecinta sepakbola Nirwan Dermawan Bakrie yang akrab dipanggil NDB, untuk membeli klub sepakbola di Australia. Ada dua klub saat itu yang dijual yakni : Perth Glory FC dan Brisbane Roar FC.

Usai dilakukan due diligence, Nirwan Dermawan Bakrie memutuskan mengakuisisi Brisbane Roar FC dan menunjukku sebagai CEO. Aku mendapat kehormatan untuk menjabat CEO selama dua musim kompetisi dan di kedua musim itu Brisbane Roar FC juara A League Australia. Setelah selesai bertugas di Brisbane, aku secara perlahan mengundurkan diri dari kegiatan aktif sepakbola mengingat usia dan kesehatan.
Pengalamanku selama 55 tahun berkiprah di dunia sepakbola itu sebagai anugerah yang patut disyukuri. Banyak kenalan di dunia sepakbola nasional dan intenasional yang menjadi kawan baik dan sahabat.
Terima kasih kepada pihak-pihak yang selama ini banyak membantuku serta bekerja sama dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab di dunia sepakbola yang indah ini.
Salam Sepakbola.
Dali Tahir

Tidak ada komentar